LEBARAN & KUPAT-LEPET

Standar

Oleh: M. Rikza Chamami, MSi

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahi al-Hamd. Gema takbir itu tak henti dikumandangkan dari masjid ke masjid. Lantunan kalimah takbir menjadi pertanda Ramadan telah usai. Dan tibalah saat bahagia, idul fitri ada depan mata.

Baju, celana dan pakaian semua baru. Beberapa anak kecil berlari-lari dengan sorak gembira menyambut lebaran. Satu dan lainnya saling berbagi suka cita dengan sinar kembang api. Ibunda tercinta yang turut mendampingi kegembiraan sang buah hati juga turut meluapkan bahagia. Sambil mengunyah kurma mereka bercerita seputar rencana lebaran.

Di tengah gemuruh bedug dan lantunan takbir, Mbah Marni masih sibuk di dapur. Ia mengangkat satu demi satu kukusan makan khas lebaran yang dibungkus dengan janur. “Nopo niku Mbah?” tanya cucunya yang masih lucu. “Niki asmane kupat (ketupat: Indonesia) lan lepet” jawabnya cepat. Anak itu tak mau jauh dari neneknya. Maklum, ia datang jauh-jauh dari ujung timur Jawa, ikut mudik orang tunya ke Kudus. Satu kata yang dimintanya. Ia mau merasakan masakan yang dianggapnya aneh dan tak pernah ditemui.

Malam itu tampak ramai. Masjid yang sejak sore sudah memulai penerimaan zakat fitrah berjubal orang berpeci dan sarung. Malam itu pula zakat yang telah terkumpul dibagikan pada mustahiq-nya. Semua keluarga kumpul bersatu dan saling bercerita seputar puasa dan lebaran besok. Rasa sedih, gelisah, gundah terkubur oleh nuansa lebaran yang kian elok.

Kemeriahan idul fitri bukanlah hal tabu. Persiapan untuk menyambut kehadiran hari raya sudah dengan matang direncanakan. Mulai nyembelih pitik, ngecat rumah, beli pakaian dan mempersiapkan jajan. Tak lupa pula menghidangkan makanan khas bernama kupat-lepet. Walau nama itu merupakan dua makanan yang beda, tetapi orang sering menyebutnya bersamaan.

Pembuatan kupat-lepet ini memakan waktu lama. Mulai dari menganyam janur untuk kupat, mengisi beras dan memasaknya kira-kira enam jam. Bahan mentah yang digunakan juga beda, kupat terbuat dari beras dan lepet dari ketan.

Ternyata dibalik nama kupat-lepet mengandung makna filosofis. Keduanya merupakan makanan yang mempunyai makna tawadlu’ (rendah diri). Kupat berarti aku lepat (saya salah) dan lepet bermakna luput (salah). Jadi kupat-lepet adalah simbol pengakuan dosa yang dimiliki oleh manusia. Ini sama halnya dengan kata “Kudus” yang berarti “aku dosa”. Tepat kiranya orang Kudus kalau lebaran hati ke tujuh menamakan Kupatan–pertanda hari istimewa idul fitri mau berakhir.

Untuk menjadikan hamba Allah yang berlimang dosa, mereka menebus dengan maaf-maafan (mushafahah). Mungkin “orang kuno” dulu merasa kurang cukup kalau penebusan dosa hanya dengan bersalaman, maka dibuatlah simbol makanan kupat-lepet agar mereka tidak lupa dengan kesucian makna idul fitri.

Dalam membentuk model kupat juga beraneka ragam. Ada kupat masjid, rumah, ayam jago, persegi panjang dan lain sebagainya. Ini pertanda bahwa penebusan dosa bisa dilakukan dimanapun dan dengan siapapun. Karena perintah untuk mengakui dosa tercantum dalam al-Qur’an: “Wasari’u ila maghfiratin min rabbikum wa jannah”. Wahai para manusia, bergegaslah Engkau meminta maaf dari Tuhanmu dan kelak menuju surga.

Ini merupakan bukti pengakuan khilaf seorang hamba di hari lebaran. Maka ketika unjung (muter-muter tetangga) ia menyampaikan kalimat: “Sugeng riyadi, ngaturaken lepat kulo, nyuwun pangapunten” Selamat idul fitri, memohon atas semua khilah yang kami miliki.

Tinggalkan komentar